Pages

Jumat, 06 April 2012

Kak, Kamu tega...!!

Tak perlu banyak alasan untuk selalu dimengerti. Bukankah sudah saya ucapkan kemarin-kemarin. Sudah kering luka yang kau gores, tak usah kau korek lagi. Diamku cukup. Sendiriku untuk sementara tak perlu kau usik. Dan Saya mau sendiri. Cukuplah kau tau itu.
***
Pembicaraan dengan kedua orang tua yang menyuruhku pulang. Untuk menghadiri pesta pernikahanmu insyaAllah yang sekali seumur hidup.  Saya pun tak tau alasan apa lagi yang harus ku ucap. pikirku tak berhak  ataupun memiliki hak tuk melarangmu. Itu pilihanmu. Hanya saja tak pernah habis terpikir, dia pandai memanfaatkan suasana, mencuri berita. Mendekat, mengambil lalu membuangnya. Diapun hilang dan menjauh. Kasarnya karena butuh maka kau ku perlu. (kasihan). ahh...sudahlah.

Tapi, kaupun menambahnya lagi. berita bahagia yang seharusnya ku dengar duluan sebagai orang rumah ternyata harus ku tau dari orang lain yang jaraknya berjuta-juta kilometer. Kita mungkin sekarang terpisah, tak seatap lagi, rentang jarak yang ada juga mungkin terlalu jauh menurutmu dan komunikasipun sebatas angin lalu. ironis.  Dan singkatnya Aku tlah Jauh.

***
Tys...,kamu nda pulang ?? besok kita pindahan ke rumah baru. kata mama mengajakku cerita.
lama ku diam...

Tidak Ma..., saya tidak mau pulang.

Baiklah..., tapi minggu depan kamu pulang kan..?

hmmm....entahlah. Ragu ku menjawab semua pertanyaan yang menurutku terlalu menohok.

Itu acara keluarga, kita keluarga besar. Jangan sampai kita dibaca oleh orang bahwa kita berselisih. cukuplah.
Mama harap kamu bisa datang..., kejadian yang kemarin mudah-mudahan ada hikmahnya.

Bapak harap kamu bisa bantu...
Apa yang mau saya bantu..? jawabku agak ketus kepada sosok Ayah yang menjadikanku benci akan arti sebuah keluarga.

Bantu kami dengan meringankan pikiran..., kenapa bapak bisa menasehati orang banyak dan  merekapun bisa mendengarkan, tapi kamu tidak...??

Diam hanya menjadi jawabanku saat ini. Karena dengan membalasnya pasti menyakitkan. Saya sakit dan merekapun sakit. Bapak boleh saja menasehati orang lain tapi saya tidak. Sudah penuh di kepala untuk mendengar nasihat yang menurutku BOHONG. Dan saya benci kebohongan. Benci. 
Saya tak bisa berpura-pura manis di depan orang banyak untuk menutupi ketidaksukaan saya. Hanya demi sebuah penghargaan. Tidak sama sekali.

Bapakpun pergi ke pelabuhan tanpa kuantar. kulihatnya risau, tapi sudahlah. Hatikupun terlalu susah tuk kuajak berdamai.

***
Dering telepon dari adikku menyentak lamunanku yang ingin ku jadikan sebagai pengantar tidurku. Memang masih pagi untuk tidur jam 9 dihari jumat ini. tapi itulah salah satu caraku untuk mengusir penat dan kacaunya pikiranku

Assalamualaikum...,Kak...kt lagi apa..?
Tidak, saya mau tidur.
Mama mana...?
Ke kampung jemput nenek, nanti sama-sama mau ke K*****i
Kita tidak pulang...??
Tidak..., kenapa saya mesti pulang..?Ketus ku jawab
Besok kita mau pindah. Kita bantu-bantu tenagalah. Kita tidak sukakah kalau pindah..?
Baguslah kalau pindah. Itukan rumahmu. Rumahku disini..!! (ketus slalu menjadi nada balasanku)
Sudahlah kalau begitu...Assalamualaikum
Iya, Sudah. saya mau tidur...!!!
Tanpa menjawab balasan salammnya, saya menutupnya dan menggeletakkan hp begitu saja.

Pesan singkatnya pun masuk sesaat kemudian
"Teganya Kita Kak..."!!

Tak kubalas pesan itu. Tak perlu. Menjawabnya membuat meenjadi makin keruh dan runyam. Masih susah hatiku berdamai. Skali lagi Diam jawabku dan sebuah tangis memecah sunyi dan sendiriku. pikiranku kembali mengingat perkataan mama yang di ucapkannnya kepada sahabatku. Itu rumah Rani. Rumah yang dibangun atas dasar kebersamaan. Tapi mama tlah menghancurkan harapan-harapanku. Membandingkan materi yang kuperoleh dengan adikku dan mengatakannya kepada orang lain. 
Kupendam. Setelah perkataan itu semua kosong, hampa dan hilang. Perasaan yang ingin selalu kutata dan kujaga baik dan sembuh dari luka perkataan dan perlakuan bapak seketika runtuh. Jatuh serupa pasir yang di sapu ombak. Ternyata semuanya sama. Susah Payah kubangun semangat dan ketegaran untuk menguatkan, tapi akhirnya berujung patah. Saya kecewa.

Sesenggukan tangis  dan menulis hanyalah teman bijakku melarungkan suasana, meringankan beban yang tak bisa ku bagi oleh siapapun. Karena percaya kepada orang adalah krisis yang sudah melandaku beberapa tahun.

Saya memang tak punya apa-apa yang bisa dibangga. Tak Punya materi yang bisa membeli sesuatu yang berharga dan dipandang. Karena saya belum bisa. Masih merangkak. Saya memang belum bisa memberi apa-apa dan saya yakin apa yang telah saya beri belum berarti apa-apa bahkan belum bisa dikatakan membalas. Tapi salahkah saya berontak, jika saya tak ingin di bandingkan...??

Lalu, Siapakah yang dikatakan Tega..???



BB,7April2012



 

 





Tidak ada komentar:

Posting Komentar